Rabu, 03 Februari 2016

Objek Wisata Zimbabwe


Negara ini diberkati dengan tanah yang subur, kekayaan mineral dan pemandangan yang menakjubkan. Dua sungai utama membentuk perbatasan utara dan selatan. Sungai Zambesi yang besar memotong di sepanjang wilayah utara, sementara Sungai Limpopo membentuk perbatasan selatan dengan Afrika Selatan.

Afrika Selatan adalah negeri yang paling menarik untuk menjalani wisata safari, namun Zimbabwe menawarkan tantangan pengalaman berburu yang lebih otentik. Meski sekarang negeri ini sedang krisis secara politik tetapi negeri ini tetap menawarkan wisata safari yang menakjubkan. Bila Anda bepergian sekarang ini maka Anda minimal harus membayar untuk biaya keamanan Anda sekitar 250 US$untuk masing-masing pemburu seharinya.

Di dalam bersafari di Zimbabwe Anda tidak sekedar berburu tetapi bisa membunuh sebanyak mungkin binatang yang Anda mau, karena perusahaan wisata safari ini telah membayar biaya setahun bagi binatang-binatang yang akan ditembak. 

Zambesi adalah sungai besar dengan berbagai macam pemandangan dan kegiatan yang menakjubkan, ditambah digabungkan dengan Taman Nasional di sepanjang sungai, benar-benar merupakan sebuah legenda. Pemandian Mana dan Matusadona yang terletak di bawah lembah Great Rift menawarkan pemandangan yang sangat berbeda, belum pegunungan di lembah ini tampak seperti lukisan.


Air Terjun The Victoria Falls


The Victoria Falls atau Mosi-oa-Tunya (the Smoke that Thunders)terletak di sungai Zambesi, di antara negeri Zambia dan Zimbabwe. Untuk ukuran, maka air terjun ini adalah yang terbesar di dunia, sekaligus dengan bentuk yang paling tidak biasa, bahkan memiliki koleksi beragam fauna yang terbanyak yang ada di sebuah area air terjun. 



Mosi-oa-Tunya adalah nama yang biasa dipergunakan penduduk setempat, sementara nama Victoria Falls diberikan oleh orang-orang Eropa di kemudian hari. Air terjun ini memiliki lebar 1.7 kilometer dan ketinggian sebesar 108 meter (360 kaki), membentuk lapisan air terjun terbesar di dunia. 



 Bentuk Victoria Falls yang tidak biasa adalah secara virtual dapat memandang keseluruhan luas air terjun, sekaligus dalam ketinggian yang sama, dari jarak terdekat yaitu sejauh 60 meter, karena seluruh air dari Sungai Zambezi jatuh ke jurang yang sempit dan dalam yang dihubungkan ke beberapa jalur sempit berbatu.


Banyak binatang dan burung Afrika dapat dilihat di Victoria Falls, dan keragaman ikan yang kaya dapat Anda saksikan di sungai Zambezi, memberikan pemandangan kehidupan liar dan olahraga memancing sekaligus menikmati pemandangan yang menakjubkan.



Victoria Falls adalah salah satu atraksi turis paling utama di Afrika, dan merupakan UNESCO World Heritage Site. Air terjun ini sebenarnya dimiliki bersama-sama baik oleh negara Zambia ataupun Zimbabwe, dan masing-masing negara memiliki taman nasional untuk menjaganya sekaligus menjadi pusat turisme, yaitu Taman Nasional Mosia-oa-Tunya dan Livingstone di Zambia, dan Taman Nasional Victoria Falls di Zimbabwe.



Tempat-tempat wisata lainnya yang dapat Anda kunjungi adalah: Danau Kariba danMatopos National Park. Meski akhir-akhir ini Zimbabwe terus menerus ada dalam pemberitaan yang negatif, tetapi bagi para wisatawan berpengalaman yang biasa berpetualang ke Afrika, mereka tetap memenuhi kamp-kamp safari yang ada. Victoria Fallsdan taman-taman nasional di utara sepenuhnya aman dan masih menawarkan kehidupan liat terbaik di Afrika hari ini. Zimbabwe adalah bukti bahwa negara ini juga merupakan konservator terbaik bagi para turis. Zimbabwe bisa dikatakaan sebagai nilai safari terbaik yang ada di Afrika.

sumber: http://sentrablog.blogspot.co.id/2010/04/objek-wisata-zimbabwe.html

PETUALANGAN TOM SAWYER


Tom Sawyer adalah seorang anak laki-laki yang sangat menyukai petualangan. Pada suatu malam ia melarikan diri dari rumah, lalu bersama temannya yang bernama Huck pergi ke pemakaman. “Hei, Huck! Kalau kita membawa kucing yang mati dan menguburnya, katanya kutil kita bisa diambil.” “Benar. Serahkan saja padaku! Masa’sih begitu saja takut.”
“Hei , tunggu! Ada orang yang datang! Tom dan Huck segera bersembunyi. “Bukankah itu Dokter dan Kakek Peter? Dan itu si Indian Joe…” Kemudian Dokter dan Kakek Petter mulai bertengkar karena masalah uang. Untuk mendapatkan mayat, Dokter harus melakukan penggaliannya berdua. Lalu Kakek Petter mulai menaikkan harga, tetapi Dokter menolak. Kemudian Kakek Petter dipukul oleh Dokter hingga terjatuh. Setelah itu, si Indian Joe memungut pisau yang dibawa Kakek Petter dan melompat menyerang Dokter. Brukk!
Si Indian Joe membunuh Dokter, lalu pergi membawa lari uang itu. Keesokan harinya Dokter ditemukan meninggal dunia di pemakaman itu, dan orang-orang kota mulai berkumpul. “Ini adalah pisau Kakek Petter. Jadi, Kakek yang membunuh Dokter.” “A… aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas… “Apa!? Aku telah melihat Kakek Petter membunuh Dokter.” “Memang benar, pembunuhnya adalah Kakek Petter.

Kemudian Kakek Petter ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. “Wah… padahal pembunuh yang sebenarnya adalah si Indian Joe.” “Tetapi, kalau kita mengatakan hal itu, si Indian Joe akan balas dendam dan membunuh kita…” Beberapa hari telah berlalu, dan semua orang telah melupakan kejadian itu. Pada suatu hari Tom bertengkar dengan Becky, gadis yang disukainya di sekolah. “Apa-apaan. Aku benci sama Tom.”
Tom yang dimarahi oleh Becky merasa patah hati. Lalu temannya yang bernama Joe berkata, “Baik di rumah maupun di sekolah aku sudah tak diperlukan. Tom, kita melarikan diri saja, yuk!” Tom dan Joe mengajak Huck, mereka bermaksud hidup di sebuah pulau di tengah-tengah sungai. “Yahooo! Kalau begini, kita seperti bajak laut, ya! “Kita tak perlu pergi ke sekolah.” Ketiganya menyeberangi sungai dengan rakit yang dibuatnya, dan mereka seharian bermain. Ketika mulai lapar, mereka pun makan telur goreng dan apel.


Keesokan harinya ketika mereka sedang bermain, tiba-tiba…. duaaar! Air sungai menyembur ke atas. “Oh, itu adalah isyarat dari seseorang yang sedang mencari orang yang tenggelam.” Orang-orang kota mengira Tom dan Joe tenggelam di sungai, lalu mereka pun datang untuk mencari. “Mungkin saat ini Bibi Polly sedang mengkhawatirkanku.” Di tengah malam Tom berenang menyeberangi sungai, kembali ke rumahnya untuk melihat keadaan. Ketika Tom mengintip dari jendela, dilihatnya Bibi Polly dan Ibu Joe sedang menangis. “Semuanya meninggal dunia, ya…”
Kemudian Tom kembali ke pulau dan menceritakan hal itu pada Huck dan Joe. Mereka sangat terkejut. Akhirnya, mereka sepakat untuk pulang pada hari upacara pemakaman mereka. “Wah, Tom! Kamu pulang, ya.!” “Joe, syukurlah kamu pulang dengan selamat.” Semuanya gembira atas kepulangan mereka.
Beberapa hari kemudian pengadilan Kakek Petter dimulai. Di pengadilan Kakek Petter ditetapkan sebagai pembunuh, dan ia akan dihukum mati. Untuk membebaskan Kakek Petter, Tom memberanikan diri menjadi saksi. “Pembunuh yang sebenarnya adalah si Indian Joe itu. Kami telah melihat kejadian yang sesungguhnya.” Si Indian Joe yang mendengar hal ini segera melompat dari jendela. Praaang! Ia melarikan diri. Kakek Petter merasa sangat gembira karena jiwanya tertolong. “Tom, terima kasih banyak. Begitu pengadilan berakhir, kota kembali pada kehidupannya semula. Pada suatu hari Huck dan Tom pergi ke sebuah rumah yang tak berpenghuni. Ketika keduanya sedang mencari sesuatu di tingkat dua, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam rumah. “Ooh! Si Indian Joe bersama sahabatnya, si pencuri!”
Untuk menyembunyikan uang yang telah dicurinya, para pencuri itu mulai menggali lantai. Dan… criing! Mereka mengeluarkan kotak emas. “Hyaaa! Harta karun yang banyak!” “Baiklah, kita pindahkan persembunyiannya lalu kita beri tanda dengan kayu ini.” Si Indian Joe juga mulai naik ke tingkat dua, untuk memeriksa. “Bagaimana, nih? Kalau ketahuan, pasti kita dibunuh olehnya…” Praaak! Gedebug! Karena papan tangganya sudah lapuk, di tengah-tengah tangga si Indian Joe terjatuh. Tom dan Huck pun merasa lega.


Di lain pihak Tom, Becky, dan teman-temannya pergi berpiknik bersama-sama. Tetapi, Tom dan Becky tersesat di sebuah goa. Mereka tak tahu jalan pulang. Tiba-tiba, muncul asap membumbung mengelilingi keduanya. “Kyaaa! Tom, aku takut!” “Oh, ada seseorang!” Tiba-tiba muncullah sosok Indian Joe di depan Tom dan Becky. Saking terkejutnya, sampai-sampai keduanya sulit untuk bemafas. “Waaaw! Ayo, lari!” Dengan cepat, Tom dan Becky berlari hingga keluar dari dalam goa. Akhimya mereka pulang.
Bibi Polly yang khawatir sangat gembira dengan kepulangan kedua anak itu. Ketika Tom pergi bermain ke rumah Becky, ayah Becky berkata, “Tom karena goa itu berbahaya, sebaiknya ditutup saja.” Ya… tetapi di situ ada Indian Joe. Ketika semuanya pergi ke sana, ternyata Indian Joe jatuh pingsan di pintu masuk goa. la tersesat. Kemudian mereka menutup pintu masuk goa, dan menjebloskan Indian Joe ke dalam penjara. “Temyata Indian Joe menyembunyikan emasnya di atas batu yang terletak di dalam goa ini dan telah diberi tanda. ” Tom dan Huck masuk ke dalam goa dengan melewati jalan rahasia. Ketika mereka menggali batu yang sudah diberi tanda, mereka melihat emas yang disembunyikan kedua orang pencuri itu.
“Horee dengan harta ini, kita akan menjadi kaya!” Saat Tom dan Huck pulang, Nyonya Douglas yang telah ditolong oleh Huck mengadakan pesta untuk menyambut mereka.
“Petualangan Tom Sawyer” adalah cerita yang diangkat dari kisah di Mississipi, Amerika. Menceritakan tentang pemuda nakal, bernama Tom dan sahabatnya, Huck.

sumber :https://teamjabal.wordpress.com/category/dongeng-luar-negeri/

Mengenang Pengabdian Ki Hadisugito di Jagad Pewayangan


Dalang, Faktor Utama Keadiluhungan Wayang Kulit


PAKEM pewayangan adalah paugeran pergelaran wayang yang harus dipatuhi oleh para dalang. Meskipun demikian, isen-isen ajaran dalam pergelaran wayang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Nut jaman kelakone. Bahkan dalam adegan tertentu, omongan tokoh-tokoh tertentu juga tidak ditabukan glenyengan atau dleweran ke permasalahan yang sedang aktual di masyarakat. Bahkan ketika sedang dalam jejeran, tiba-tiba Janaka terkentut, sebenarnya juga bukan hal yang tabu. Bukankah Janaka itu juga gambaran sesosok manusia biasa?

Pernyataan itu disampaikan Ki Hadi Sugito kepada KR pada tahun 1987. Saat itu gaya pewayangan Ki Hadi Sugito dinilai telah mengalami loncatan jauh maju ke depan, inovatif dan kreatif. “Dalam soal lakon, kalau memainkan lakon-lakon babonan saya selalu sama persis dengan apa yang ada di pakem lakon. Tetapi kalau memainkan cerita-cerita carangan, saya memang banyak menafsirkan sendiri dan saya sesuaikan dengan situasi dan kondisi sewaktu saya mendalang. Cerita-cerita carangan itu kan juga diciptakan sendiri oleh mbah-mbah buyut kita?” tegas Ki Hadi Sugito saat itu.
Selain dikenal ada keseimbangan antara tontonan (entertainment) dan tuntunan (ajaran pendidikan), gaya pedalangan Ki Hadi Sugito sejak tahun 70-an dikenal selalu dikemas segar namun berbobot. Kehebatan vokal dan antawecana dalang asal Kulonprogo itu dikenal sangat enak didengar dan ada harmoni antara suara dalang dengan gendhing pengiring. Karena itu banyak panggemar wayang kulit yang merasa seolah-olah melihat kehidupan nyata ketika mendengarkan pergelaran wayang kulit oleh Dalang Hadi Sugito, meskipun hanya lewat siaran radio atau rekaman audio.
Peran sentral Ki Hadi Sugito dalam pergelaran wayang kulit gagrak Yogyakarta sudah tidak diragukan. Ia adalah salah satu dalang yang tetap berpegang kuat pada pakem pergelaran wayang kulit gaya Yogya. Ia sama sekali tidak terseret arus dalang-dalang lain yang ‘terjebak’ pada pergelaran wayang yang hanya mengutamakan segi tontonan dan mengabaikan fungsinya sebagai tuntunan.
Dalam kondisi para pemerhati seni tradisi sedang prihatin lantaran jagad perkeliran yang sedang carut-marut, 9 Januari lalu mendadak terdengar kabar bahwa Sang Maestro Dalang Yogya, Ki Hadi Sugito, meninggal dunia. Berita itupun benar adanya, dan Ki Hadi Sugito dimakamkan di Sasana Laya Genthan Panjatan Kulonprogo, 10 Januari 2008 tepat 1 Sura 1941 (1 Muharam 1429 H).
Keprihatinan para pemerhati seni dan para dalang wayang kulit klasik bertambah, karena saat ini sebenarnya pedalangan gaya Yogya sangat memerlukan tokoh panutan, seperti Ki Hadi Sugito. Keprihatinan itu antara lain diungkapkan oleh Ki Cerma Sutedjo, Ki Sumono Widjiatmodjo dan sejumlah dalang lain. Sebab menurut mereka, dalang merupakan faktor utama keadiluhungan pergelaran wayang kulit. “Untuk saat ini Ki Hadi Sugito adalah figur yang paling pas dijadikan panutan para dalang muda khususnya, agar pergelaran wayang gaya Yogya tetap adiluhung,” kata Ki Cerma Sutedjo.
Dalang asal Surakarta, Ki Purba Asmoro SKar MHum menilai bahwa kalau mendalang, seolah roh Pak Hadi Sugito bisa masuk ke tubuh wayang, terutama kalau sedang memainkan tokoh Durna, Togog dan Mbilung. Kehebatan antawecana sampai membuat wayang seolah benar-benar hidup pada zaman sekarang, adalah kemampuan Ki Hadi Sugito yang tidak dimiliki oleh dalang-dalang lain. “Pak Gito benar-benar dapat menghidupkan wayang sesuai zamannya. Namun pergelaran wayang yang dimainkan Ki Hadi Sugito tetap bergaya klasik, sesuai aturan dan tatanan yang adiluhung,” tegas Ki Purbo ketika mewakili para seniman dalam upacara pemberangkatan jenazah Ki Hadi Sugito, Kamis (10/1) lalu.
Sebagai pelaku kesenian adiluhung, lanjut Ki Purbo, pengabdian Ki Hadi Sugito sudah tatas-tuntas. Ia telah mendarmabaktikan hidup sepenuhnya kepada kesenian tradisional yang adiluhung menjadi kesenian yang mampu mengikuti perkembangan zaman. “Sikapnya yang enthengan kepada sesama seniman dan sikapnya yang tegar berpegang pada pakem pewayangan klasik Gagrak Ngayogjakarta, merupakan sikap yang sangat pantas diteladani, agar pergelaran wayang kulit benar-benar tetap adiluhung,” tandasnya.
Tentang keadiluhungan pergelaran wayang, Ir Haryono Haryoguritno dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) mengatakan, suatu karya seni dapat mencapai kemahakaryaan karena ditentukan oleh manusia pelaku seni (seniman yang bersangkutan, dalam hal ini dalang), suasana sekitar yang mendukung pergelaran, iklim berkesenian di suatu daerah, dan faktor-faktor lain yang mendukung keadiluhungan pergelaran wayang.
Mengutip isi buku pedalangan Sastramiruda, Ir Haryono Haryoguritno menguraikan bahwa untuk menuju keadiluhungan pergelaran wayang, seorang dalang harus memenuhi 12 syarat. Di antaranya antawecana (menyuarakan secara tepat masing-masing tokoh wayang), renggep (dapat menyajikan tontonan yang mengasyikkan, nges (dapat mendramatisasi adegan sehingga mampu membangkitkan rasa keterlibatan penonton/pendengar), tutug (dapat menyajikan lakon sampai tuntas), gecul/banyol (dapat membuat lelucon) dan kawiradya (dapat membedakan janturan untuk masing-masing adegan.
Ketua Pepadi Kulonprogo, Ki Sumono Widjiatmodjo mengatakan, Pak Gito sangat dikenal sebagai dalang gecul ning ora saru. Dalam hal antawecana, Pak Gito sangat jagoan, terutama ketika memainkan tokoh Durna, Togog dan Mbilung. Bahkan dalam lakon Bagong Kembar, penonton atau pendengar dapat dengan jelas membedakan mana Bagong yang asli dan yang palsu.
“Soal nges lan greget, Pak Gito selalu dapat menarik perasaan orang lain terlibat dalam pergelaran wayang. Apalagi kalau sedang memainkan tokoh Durna yang jahat, sehingga ada penonton di Ngambal Kebumen benar-benar sangat membenci Durna dan mencabut wayang Durna yang sedang dimainkan Ki Hadi Sugito,” kata Ki Sumono. (Joko Budhiarto)
***
INNA lillahi wa inna illaihi roji’un, semua yang berasal dari Allah pada akhirnya kembali kepada Allah pula. Kabeh jalma yen wis titi wanci bakal tumekaning pati, marak sowan marang Sang Hiang Widhi. Begitu juga halnya dengan Ki Hadi Sugito.
Tepat pada hari Rebo pasaran Legi tanggal 9 Januari 2008 Masehi, atau bersamaan dengan tanggal 30 Dzulhijjah tahun 1428 Hijriyah, atau tanggal 30 Besar 1940 Jawa, Ki Hadi Sugito harus “marak sowan” ke hadirat Allah SWT.
Di dalam usianya yang 67 tahun, dhalang kondhang yang sudah puluhan tahun malang melintang di jagat pakeliran itu harus menghadap Sang Hiang Widhi. Almarhum dimakamkan di TPU Sasana Laya Genthan, Tayuban, Panjatan, Kulonprogo. Tentu tidak saja keluarganya di Toyan, Triharjo, Wates Kulonprogo yang kehilangan, akan tetapi masyarakat Yogyakarta khususnya dan bangsa Indonesia umumnya ikut serta merasa kehilangan.
Dunia seni kita telah kehilangan salah satu putra terbaiknya. Dekarakterisasi Tokoh Saat ini memang banyak dhalang yang ternama, katakanlah Ki Timbul Hadi Prayitno (Yogyakarta), Ki Manteb Sudarsono (Surakarta), Ki Anom Suroto ( Surakarta), Ki Asep Sunarya (Bandung) dsb. Kalau wanita ada nama-nama, Nyi Suharni Sabdowati (Sragen), Nyi Wulansari Panjangmas (Wonogiri), Nyi Cempluk Sabdosih (Sragen), Ni Sri Rahayu Setiyowati (Jakarta), dsb. Namun, di antara banyak dhalang ternama tersebut tidak satu pun yang memiliki gaya mendhalang yang “kocak” tetapi taat pada pakem sebagaimana kekhasan Ki Hadi Sugito.
Kreativitas seni Ki Hadi Sugito memang harus diakui signifikansinya; dan dari kreativitas seni yang dimiliki itulah muncul berbagai ungkapan yang membuat kekhasan dalam beroleh seni. Kalau punakawan seperti Gareng dan Petruk sering ndhagel kiranya hal itu sudah biasa, demikian juga dengan tokoh pewayangan yang berkarakter “celelekan” seperti Dursasana dan Buriswara; tetapi tentu saja tidak untuk tokoh pewayangan yang berkarakter “serius” seperti Arjuna, Werkudara dan Abimanyu. Tetapi di tangan Ki Hadi Sugito, semua tokoh pewayangan yang berkarakter “serius” pun bisa ndhagel, guyonan, bahkan membanyol. Arjuna, Werkudara, Abimanyu, Adipati Karna, Duryudana, Kunthi, Wara Sembadra, Drupadi, Utari dsb, semuanya bisa mengocok perut penontonnya.
Bahkan tokoh pewayangan yang “wingit” seperti halnya Bathara Guru pun tidak jarang didagelkan. Oleh para penggemarnya, Ki Hadi Sugito dihafali dengan ungkapan-ungkapan khas yang tidak dimiliki oleh dhalang lain: seperti ngglibeng, menus, prandekpuno, prek, trembelane, dan sebagainya. Orang tentu tidak bisa membayangkan bagaimana tokoh “wingit” seperti Bathara Guru bisa ngendika (berucap) “prek” kepada dewa lain atau kepada manusia. Ungkapan khas tersebut menimbulkan berbagai pendapat di kalangan masyarakat, khususnya analis seni pewayangan, baik yang negatif maupun yang positif.
Di satu sisi ada analis yang menyatakan apa yang dipertunjukkan oleh Ki Hadi Sugito dengan “mendagelkan” semua tokoh wayang, terutama yang berkarakter serius dan wingit, telah merusak dunia pewayangan itu sendiri. Argumennya cukup jelas, salah satu kekhasan pertunjukan wayang adalah adanya karakter yang sudah melekat pada tokohnya, jadi kalau ada upaya melepas karakter tersebut (dekarakterisasi) seperti yang dilakukan Ki Hadi Sugito, hal itu telah merusak dunia pewayangan itu sendiri.
Di sisi lain ada analis yang menyatakan apa yang dilakukan Ki Hadi Sugito adalah langkah yang positif karena tidak pernah menerjang pakem. Ndagelnya tokoh wayang tidak sampai pada titik dekarakterisasi, dan hal ini justru menjadi metoda yang tepat untuk menarik minat masyarakat supaya menuntaskan pertunjukan yang dimainkannya. Di dalam penuntasan inilah akan dimuati pesan-pesan luhur dengan cara yang ringan dan tidak terkesan membebani.
Aneka pendapat tersebut tentunya merupakan hal yang lumrah. Jangankan terhadap Ki Hadi Sugito, sedangkan kepada Bung Karno, Pak Harto, SBY, Gus Dur, dan Amien Rais pun sama saja; di satu pihak ada yang memuji dan di lain pihak ada yang mencemooh. Teguh Pendirian Terhadap aneka pendapat yang ditujukan kepada dirinya, nampaknya Ki Hadi Sugito tidak pernah risau. Beliau teguh dalam berpendirian dengan tetap menampilkan pertunjukan sesuai dengan kekhasan dirinya. Beliau yakin dengan cara itu minat masyarakat terhadap wayang akan semakin meningkat.
Para pemuda yang mulanya asing terhadap wayang pun akan mulai tertarik melalui dhagelan-dhagelan yang dibawakannya, Kalau pemuda sudah tertarik terhadap wayang? Lakon selanjutnya adalah meniupkan pesan-pesan moral dan ajaran hidup secara ringan, sama sekali tidak dengan metode yang terlalu serius yang terkadang justru membosankan.
Barangkali atas keteguhan pendiriannya tersebut maka Ki Hadi Sugito dinobatkan sebagai salah satu dari 22 orang Jawa yang terpandang dan terkenal (misuwur) versi Wikipedia. Adapun tokoh-tokoh lain di luar dirinya antara lain adalah Sultan Agung, Panembahan Senapati, Ranggawarsita, Poerbatjaraka, Sri Sultan HB IX, Ki Narto Sabdo, Tjan Tjoe Siem, dan Amien Rais.
Masuknya nama Ki Hadi Sugito dalam daftar orang Jawa yang terpandang dan terkenal secara tidak langsung merupakan pengakuan atas prestasi yang telah diukir oleh dirinya. Wafatnya Ki Hadi Sugito semoga meninggalkan generasi muda yang kokoh, berkarakter dan mampu berbuat banyak bagi bangsanya sebagaimana meninggalnya Prabu Pandhu Dewanata yang meninggalkan Pandawa yang kokoh, berkarakter dan mampu berbuat banyak bagi bangsanya. Selamat jalan Pak Gito……..

sumber: https://wayang.wordpress.com/2010/07/26/mengenang-pengabdian-ki-hadisugito-di-jagad-pewayangan/

Rabu, 27 Januari 2016

Sungai Jodoh

Sungai Jodoh

Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. “Ular…!” teriak Mah Bongsu ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.
Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib… setiap Mah Bongsu membakar kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebih Mak Piah Majikannya.
Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya.. “Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul,” kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. “Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa hari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.
“Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan,” kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. “Mah Bongsu seorang yang dermawati,” sebut mereka.
Karena merasa tersaingi, Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. “Wah, ada ular sebesar betis?” gumam Mak Piah. “Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun?” gumamnya lagi. “Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu,” ujar Mak Piah.
Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. “Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu,” pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. “Saya takut! Ular melilit dan menggigitku!” teriak Siti Mayang ketakutan. “Anakku, jangan takut. Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun,” ucap Mak Piah.
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. “Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu,” kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. “Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau berikan padaku,” ungkap ular itu. “Aku ingin melamarmu dan menjadi istriku,” lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.
Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nam desa “Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.
Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersbut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan ucapan selamat.
Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatok ular berbisa.
Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut “Sungai Jodoh”.
Moral : Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri. Sedang sikap menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.